
Oleh: Bidadari Azzam
Bismillah walhamdulillah, tiga belas tahun yang lalu saat hebohnya seluruh sekolah dalam ‘satu angkatan/litingan’, sudah tidak ada kepedulian para guru untuk membasmi permasalahan hingga ke akar-akarnya. Yaitu atas sebuah masalah : dusta, alias kebohongan atau kecurangan yang terjadi semasa ujian. Kala itu, rombongan anak bandel (yang benar-benar tukang membuat ulah di sekolah, bahkan ada yang dipenjara karena kasus serius) malah memperoleh nilai-nilai tertinggi, mereka tersenyum penuh kemenangan, tak peduli bahwa kebanggaan yang dimiliki adalah hal semu dan menipu diri sendiri.
Aku tak menyangka, setiap tahun hal tersebut terjadi, dahulu aku begitu ‘syok’ dan bersedih hati gara-gara ‘ketidak-adilan’ tersebut. Pahit sekali menerima pengalaman itu di sekolahku, nyata sekali bahwa “uang adalah kekuasaan”, bocah-bocah ‘pecundang itu’ memang memiliki orang tua yang bertabur uang—yang tentunya hanya secolek recehan tak berarti jika dipakai untuk membeli soal-soal ujian dan jawaban dari oknum praktisi pendidikan.Naudzubillahi minzaliik…
Ada pun perjalanan hidup di dunia teman-teman penipu itu tak melulu ‘hancur’. Beberapa memang terlibat narkoba, namun orang tua mereka begitu mudah melepaskan diri sang anak dari penjara. Sekitar tiga orang sudah meninggal, satu karena tersetrum listrik, dua lainnya karena sakit. Beberapa ‘konco’ mereka terbilang ‘sukses’, berkarir berseragam rapi digaji rakyat dengan ‘bantuan uang’ orang tua yang melicinkan jalan demi memasuki lahan ‘empuk dan basah’ itu. Aku tak menyangka, paling bingung dengan satu tanya, “Kenapa orang tua mendukung kebodohan mereka ini hingga tega menzalimi orang lain?”
Demikian pula dengan sosok guru, notabene punya anak-anak juga di rumah. Berjuta-juta guru masih dapat diteladani, begitu ramah, santun dan berbudi pekerti luhur. Namun tatkala mendengar langsung kesaksiansaudara-saudariku yang bertugas ‘mengawas’ ujian, ternyata guru yang benar-benar jujur dan pemberani tak mudah ditemukan. “Sebab, sayaaaaaang, sist… Kalau murid kita tidak lulus, kasihan. Kalau nilainya jelek, kasihan….” Begitulah alasannya mengizinkan murid-murid untuk saling memberitahu jawaban ujian.
Ada lagi yang berucap, “Saya … Naudzubillah! Saya tutup mata aja, tutup telinga dan mata, pusing deh liat suasana ujian, jangan salahin kita, salahin systemnya, salahin tuh yang buat kebijakannya….” Saudariku yang sholehah, dia berucap demikian karena ‘tak punya kuasa’ di hari H ujian, semua guru senior sibuk ‘merencanakan bantuan’ pemberian jawaban, sementara dia dan idealismenya hanya dianggap ‘hal yang tidak penting buat negeri ini’. Astaghfirrulloh!
Sekarang simaklah curahan hati dari seorang ibu sholihat yang geram dengan kecurangan ini…
“Sungguh trenyuh dan miris…. melihat kenyataan dunia pendidikan sekarang. Benar-benar menyedihkan, pendidikan tingkat dasar yang seharusnya mendidik siswa tentang nilai kejujuran, moral dan etika, ternyata di nodai oleh beberapa oknum pendidik yang culas dan tidak punya hati nurani…
Bagaimana mungkin seorang pendidik tega memberikan kunci jawaban UAS sebelum ujian berlangsung pada siswa yang mengikuti les privat.
Sungguh, butuh usaha keras buat kami orang tua untuk menenangkan hati si sulung yang syok sepulang sekolah, karena mendapati sebagian teman-teman di kelasnya berlaku curang. Teman-temannya sudah mempunyai kunci jawaban sebelum ujian di mulai!
Si sulung yang sudah terbiasa rajin belajar, tekun dan selalu dibiasakan untuk selalu jujur sangat syok, kecewa dan sedih. Sambil menenangkan hati Saya berkata, “Nak, mama lebih senang kamu dapat nilai 5 tapi usaha sendiri dan jujur daripada nilai kamu 100 tapi nilai hasil curian… Nilai kecurangan yang tidak berguna…”
Tapi si sulung yakin dia tetap mendapatkan nilai yang bagus karena usaha kerasnya dengan bersungguh-sungguh dalam belajar dan berdoa. Saya harap, anakku bisa tegar dan tetap hebat!
Duhai Bapak/ibu pendidik yang telah berbuat culas, tidakkah engkau ketahui akibat perbuatanmu terhadap anak-anak didikmu itu, engkau telah mengajarkan kecurangan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya?! Apa arti nilai-nilai bagus tapi otak mereka kosong dan ternoda?! Apa yamg akan terjadi pada masa depan mereka jika sedari kecil mereka sudah diajarkan kebohongan dan ketidakjujuran?! Tidakkah engkau mencemari dan menodai profesi pendidik yang begitu mulia, padahal di luar sana begitu banyak pendidik yang betul-betul mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak bangsa bahkan dengan segala keterbatasannya!
Tidakkah engkau tahu, Bahwa tidak ada tempat tersembunyi dari tatapanNya, Allah Maha menyaksikan apapun yang telah dilakukan oleh hambaNya, dan semua itu pasti akan di mintai pertanggungjawabannya kelak?! (Ibunda A, di kota S)
Ibunda A juga tetap memeluk bangga sang anak saat menunjukkan raport dengan beberapa nilai ‘yang aneh perhitungannya’, misalnya point berturut-turut ujian biasanya 95+95+95… dalam angka tertera ‘hanya 80-an’, ia serahkan penilaian terbaik dari Allah SWT semata, dan berharap semoga oknum guru yang dimaksud segera beroleh taufiq dan hidayah untuk bertaubat, aamiin.
Bukan hal sepele, lho… Zaman di saat masih sekolah dulu aku merasakan hal yang sama dengan yang dialami oleh ananda dari ibunda A tersebut. Satu tahun penuh dapat ‘guru yang gemar melihat paha muridnya’—tapi orang tuaku tak dapat berbuat apa-apa selain ‘complain sederhana’ terhadap pihak sekolah dan itu tak ditanggapi dengan serius. Bayangkan, di tiga semester itu, aku mendapat point ‘6’ dalam raport—tapi ranking pertama. Padahal nilai ujianku selalu 100, dan semester sebelum (dan sesudah kenaikan kelas) saat guru itu tak mengajar di kelas tingkat atas lagi, pointku selalu ‘9’ di mata pelajaran itu.
Karena penasaran, aku menanyakan raport ‘si anak gaul’—seorang teman yang memakai rok mini ketika itu. Dan benar dugaanku, point dia ‘9’, padahal faktanya tiap ujian dia hanya berada dalam angka 50-60 saja. Dulu dengan lantang kukatakan kepada pak guru itu, “Silakan bapak tes praktek antara dia dengan saya, bapak harus buktikan bahwa point kami tidak tertukar!” tapi dia hanya tertawa, sok berkuasa, dan memang mayoritas murid cewek ‘membencinya’, karena kalau tidak doyan memamerkan paha, maka nilai di mata pelajaran itu akan seenaknya di angka 5 atau 6, sungguh tak adil!
Bayangkan, di masa kelulusan SMU pula, sejumlah juara-juara kelas ‘tertendang’ dengan mudah oleh teman-teman penipu itu, hebat sekali jawaban ujian mereka hampir benar semua, padahal kalau ujian sehari-hari dan praktek ujian langsung di depan guru : lempem dan letoy!
Secara sadar atau tidak, jika tak pernah ada solusi dan tak digali masalah ini hingga ke akar-akarnya, para oknum guru senior juga mendukung “sikap ada uang-kekuasaan hadir-siapa pun ditendang” Naudzubillah!
Sadarkah diri kita bahwa ulah tersebut menjadikan bangsa kian hancur?! Bukan hanya menzalimi siswa-siswi yang benar-benar cerdas dan selalu mengerjakan dengan kemampuan sendiri, namun sekaligus menggerogoti kepercayaan diri mereka, kecintaan hati mereka terhadap makhluk-makhluk mulia bernama guru?! Demikian pula kita sebagai orang tua, menghamburkan uang untuk melicinkan ‘nilai-nilai akademik’ anak-anak, tak takutkah bahwa sikap itu justru menjauhkan anak dari ‘rasa malu terhadap Allah SWT’?! Bila tiada bermalu lagi terhadapNya, yakinkah anak akan mewarisi akhlaq mulia sebagaimana ajaran baginda nabi SAW?! Yakinkah anak dapat menjadi anak sholeh yang mendoakan kita kelak?!
Yakinkah bahwa ilmu akan terserap dalam sanubari dan pikiran mereka?! Dosa penghalang bagi seluruh kebaikan, bagaimana kita akan memperoleh ilmuNya jika diri dan generasi ‘menikmati kucuran sikap maksiat’ ?!
Sungguh mencari ilmu itu kebaikan yang luar biasa, ilmu itu kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana Imam Sufyan atsaury Rahimahullahu Ta’ala ketika menjelaskan sebuah do’a dalam alquran nur karim “رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ” Ya Allah berikan kebaikan di dunia, berikan juga kepada kami kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari api neraka, Beliau Menyatakan “itulah Ilmu”. Kebaikan di dunia kebaikan di akhirat dan perkara yang bisa menyelamatkan seseorang dari api neraka adalah Ilmu, karena Ilmu itu sumber segala macam kebaikan.
Ilmu itu perkara yang bisa melahirkan Iman, melahirkan taqwa, melahirkan amal sholeh, mengundang turunnya hidayah, mengundang turunnya rahmat, mengundang turunnya ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang sedang kita gali terus-menerus hingga menutup mata, insya Allah…
Buat kita semua yang telah menjadi orang tua dan guru, mari kita ajak anak-anak untuk bersama menikmati proses perjuangan. Proses belajar yang menjadi penilaianNya, perjuangan dalam menuntut ilmu, bukan point-point sejumlah angka dalam lembar ijazah akademik. Pihak sekolah sebaiknya tidak memberi izin bagi guru untuk memberikan les privat kepada murid di kelas yang diajarnya sendiri, sama seperti kebijakan di sekolah—biasanya ibu kandung yang menjadi guru, tidak mengajar di kelas anak kandungnya. Dulu kejadian di SD pun demikian, ‘mentang-mentang bu guru adalah tante si teman, teman ini sudah punya jawaban ujian karena diberikan oleh si tante…’Duh!
Secara jujur saya katakan, di luar negeri, sependek tujuh tahun ini, urusan di sekolah anak-anakku tidak pernah seperti kejadian di atas, Alhamdulillah…
Semoga para ‘oknum guru dan oknum orang tua’ (yang terlibat dalam kasus sebagaimana di atas) dapat segera bertaubat dan dilimpahkanNya taufiq wal hidayah, aamiin…
Duhai diri yang pendosa, cobalah merenung… tanpa sadar, bisa saja kita sendiri turut andil menambah jumlah generasi koruptor, bahkan turut mendukung sepak terjang kolusi mereka dengan menambah ‘calon-calon pencuri dan penjajah jelata’ saat membiarkan anak-anak kita berbuat curang dalam ujian sekolah, Astaghfirullahal’aziim.
(@bidadari_azzam, des 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar