
ENTAH apa yang ada di benak masyarakat Indonesia, ketika Presidennya mendapat “informasi” bahwa di malam natal nanti akan muncul aksi terror. Dengan dalih meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi, “informasi” ini dengan vulgarnya disebar ketengah masyarakat lewat sang juru bicara, Julian Aldrin Pasha.
“Tentu ini kan sesungguhnya presiden mendapat informasi. Dan beliau secara langsung dan tidak langsung sudah menginstruksikan kepada jajarannya, dalam hal ini Kepolisian yang paling terdepan sebagai poros garda pengamanan kita,”
Statement diatas adalah kutipan perkataan Julian Aldrin Pasha dariokezone.com.
Kalau kita mau merenung lebih dalam, kiranya manfaat apa yang hendak diraih dari penyebaran “informasi” sensitif ini ketengah masyarakat luas?.
Jika kita telisik lebih dalam, sejak awal “informasi” yang didapat Presiden ini bukanlah konsumsi publik. Karena setiap “informasi” yang diangkat oleh media, entah itu juru bicara, koran, radio, ataupun portal berita online harus taat dengan kaidah jurnalistik.
Kita paham betul dalam kaidah jurnalistik ada 5w+1h (where, who, what, when, why, how). “Informasi” soal terror malam natal ini tentu tidak bisa dijabarkan lewat 5w+1h karena sifatnya yang masih prediksi, dan tentunya jika dilihat dari kacamata pencegahan tindakan criminal, “informasi” lengkap semacam mestinya sudah bisa menangkap pelaku, atau kebalikannya si pelaku sudah kabur duluan karena rencananya sudah jelas diketahui publik.
Kalau “informasi” ini sejatinya bukan untuk konsumsi publik tetapi tetap “dipaksa” untuk dipublikasikan, maka apa yang akan terjadi?
Akal sehat kita tentu paham bahwa “informasi” yang tidak utuh, setengah-setengah, dan tidak jelas asal usulnya akan menimbulkan perselisihan, gesekan, dan yang paling minimal adalah kecemasan. Berapa banyak contoh kasus selebriti yang mesti capek-capek menggelar konferensi pers untuk meluruskan “informasi” yang tidak akurat mengenai diri mereka di ruang publik.
Seolah tidak belajar dari para seleb itu, sang juru bicara kepresidenan justru menganggap “informasi” yang disebar oleh sang Boss lewat dirinya adalah sebuah tindakan preventif.
“Ini justru ajakan beliau sebagai kepala negara untuk sama-sama meningkatkan kewaspadaan bersama. Dalam hal ini, menjadi hal yang perlu kita lakukan, di samping tugas yang diemban oleh pihak yang berwajib,”
-Statement Julian Aldrin Pasha membantah, bahwa “informasi” tersebut dapat menimbulkan keresahan, dikutip dari okezone.com
Logika kita tentu bisa menjawab dengan baik bahwa yang namanya “kewaspadaan” hanya dapat muncul ketika menghadapi sesuatu yang jelas. “Waspada demam berdarah”, “waspada HIV-AIDS”, “waspada banjir” dan lain lain adalah contoh jelas bahwa kewaspadaan itu lahir seiring dengan kejelasan.
Tapi kalau terror urusannya, kita akan dihadapkan dengan bayak pertanyaan, seperti; “motifnya apa?”, “modusnya apa?”, “siapa otaknya”, dan lain-lain. Kalau pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini tidak bisa dijawab maka kewaspadaan macam apa yang mesti kita bangun?. Alih-alih memunculkan kewaspadaan bisa jadi yang muncul justru phobia.
Lucunya, setelah sukses disadap habis oleh Australia, Presiden kita ini masih saja percaya dengan laporan dan “informasi” dari intelejen dalam negeri yang sudah terbukti kalah mengcounter intelejen Australia. Dan dengan percaya dirinya, mempublikasi “informasi” intelejen itu.
Presiden juga seolah-olah tidak sadar dengan dinamika yang ada dalam negerinya sendiri. Bayangkan ketika stigma terroris yang dilekatkan begitu kuat kepada umat Islam lewat berbagai macam media, sang Presiden dengan “santai”nya melempar “informasi” yang tidak pantas dikonsumsi publik terkait akan munculnya aksi terror di malam natal. Bayangkan respon reaktif macam apa yang akan muncul baik dari umat Islam dan kaum kristiani sendiri sebagai kelompok yang merayakan natal.
Jika kita bicara soal persatuan dan kesatuan republik Indonesia, telah sangat nyata bahwa Presiden kita sendiri, entah sadar atau tidak, telah melakukan aksi yang berpotensi untuk memecah belah bangsa ini.
Perlu kita ingat, berapa banyak sudah korban yang hilang nyawa, rusak fisik dan nama baiknya, hancur usahanya, karena stigma terroris yang digaungkan BNPT dan Densus 88 yang belum selesai sampai sekarang. Dan semua korbanyya jelas dan nyata adalah kaum muslimin. Apakah Presiden kita ini ingin menambah panjang daftar korban salah tangkap?.
Setelah “informasi” terror malam natal ini meluas, kita saksikan dengan nyata, lagi-lagi ada penggerebekan dan penangkapan umat Islam dibeberapa tempat. Siapa yang bisa menjamin jika salah satu dari kita selesai sholat subuh berjama’ah di Masjid bisa pulang dengan selamat tanpa lolos dari penangkapan?, sementara “operasi” Densus 88 terkenal dengan istilah “tangkap dulu, bersalah atau tidak urusan belakangan”.
Apa yang disampaikan oleh Presiden kita bahwa akan ada aksi terror malam natal sebaiknya kita pahami lewat kacamata baru, bahwa yang menjadi sasaran terror bukanlah kaum yang sedang merayakan malam natal itu sendiri, melainkan umat mayoritas negeri ini. Terror malam natal adalah terror untuk umat Islam.[eza/islampos]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar