Rabu, 15 Januari 2014

Jangan Campuri Istri Ketika Sedang Haid

Islam adalah agama yang sempurna. Sempurna syariat-Nya, yang lahir maupun batin. Sempurna dalam hal ushul (pokok-pokok aqidah) maupun yangfuru’ (cabang-cabang amaliyah). Sebagaimana firman Allah Ta’ala
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” (QS.  Al-Maidah: 3)
Diantara kesempurnaan Islam adalah, adanya aturan dan hukum-hukum bagi wanita yang sedang haid.
Allah Ta’ala berfirman
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid.Katakanlah,’Haid itu adalah suatu kotoran’.Oleh karena itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari  wanita di waktu haid,dan janganlah kamu mendekati mereka,sampai mereka suci.Apabila mereka telah suci,maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” (QS.  A-Baqarah: 222)
Allah subhaanahu wa ta’ala mengabarkan tentang pertanyaan para sahabat mengenai haid. Apakah ketika sedang haid, kondisinya sama seperti sebelum ia haid? Ataukah haruskah dijauhi secara mutlak sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi?
Allah ‘azza wa jalla menjelaskan bahwa haid adalah kotoran. Tentu merupakan suatu hikmah Allah melarang seorang suami menggauli istrinya ketika haid.Karena itu Allah berfirman:
 فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
”Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,” 
artinya, menjauhi tempat keluarnya haid, yaitu jangan melakukan jima’ di kemaluan. Perbuatan ini hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).
Perintah untuk ”menjauhi tempat haid” menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya, hukumnya diperbolehkan.
Larangan ini menunjukkan, seorang suami hendaknya tidak mencumbu bagian yang dekat dengan kemaluan, yaitu daerah antara pusar dan lutut. Dan inilah yang dituntunkan Nabishallallahu ‘alaihi wasallam ketika istri beliau sedang haid. Bila beliau akan mencumbu istrinya ketika sedang haid, beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencumbuinya.
Syarat Halal Jima’ Pasca Haid
Syarat kehalalan jima’ setelah haid ada dua; (1) darah haid telah berhenti, (2) mandi suci dari haid (mandi besar).
Allah Ta’ala memberikan batasan,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
”Dan janganlah kamu mendekati istrimu, sebelum mereka suci,”
Batasan waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang sedang haid adalah “sampai mereka suci” artinya, darah haid telah berhenti.
Ketika darahnya berhenti, hilang syarat pertama, sehingga tersisa syarat kedua sebagaimana Allah ‘azza wa jalla jelaskan pada kelanjutan ayat tersebut,
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
“Apabila mereka telah bersuci,”
maksudnya mereka telah mandi
فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” yaitu pada kemaluan depan dan bukan dubur karena itulah tempatnya bersenggama.
Hukum Mencampuri Istri Yang Sedang Haid
Menggauli wanita haid pada kemaluannya merupakan perbuatan dosa yang terlarang berdasar kesepakatan ulama. [Lihat Al-Muhalla (II /162), Majmu’ Al Fatawa (XXI/624),danTafsir Ath –Taabari (IV/378)]
Imam an Nawawi  rahimahullah (dalam kitab Syarh  Muslim III:204) mengatakan :
“Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan perempuaan yang sedang haid melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, misalnya dia melakukannya  karena lupa, atau karena tidak mengetahui keluarnya darah haid atau tidak tahu, bahwa hal tersebut haram, atau karena dia dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarat. Namun, jika dia sedang haid dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran, maka berarti dia telah melakukan dosa besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafi’irahumahullah, bahwa perbuatannya adalah dosa besar, dan ia wajib bertaubat.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al Fataawa ( XXI / 624),
“Menggauli istri yang sedang nifas sama hukumnya dengan menggauli wanita haid, hukumnya haram berdasar kesepakatan ulama.”
Apakah Wajib Membayar Kaffarat?
Tentang Kewajiban membayar kaffarat  untuk suami yang menggauli istrinya yang sedang haid, ada dua pendapat,
1. Menurut Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Khalafi dalam kitab Al Wajiz , wajib hukumnya membayar kaffarat, karena ada hadis Ibnu Abbas radhiyallallahu ‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh orang yang mendatangi isterinya dalam keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya.”(HR. Ahmad no. 2015 dan Abu Daud no. 230)
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dia harus bersedekah satu dinar atau setengah dinar.”
[Shahih, Ibnu Majah (no.523), ’Aunul Ma’bud (I: 445 no. 261), Nasa’i  (I:153), Ibnu Majah (I:210 no.640)]
Menentukan  pilihan satu dinar atau setengah dinar di kembalikan kepada perbedaan antara jima’ di awal haid atau akhir haid waktu haid. Hal ini mengacu kepada riwayat  Ibnu Abbasradhiyallahu ‘anhuma secara mauquf, dia berkata, ”Jika dia bercampur dengan istrinya di awal keluarnya darah maka hendaklah bersedekah satu dinar,dan jika di akhir keluarnya darah, maka setengah dinar.”
(Shahih mauquf. Abu Dawud no.238 dan ‘Aunul Ma’bud I: 249 no.262 )
2. Jumhur ulama berpendapat, tidak wajib membayar kaffarat – berbeda dengan pendapat Imam Ahmad yang mewajibkan membayar kaffarat -.
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam buku Ensiklopedi Fiqih Wanita hlm 114 mengatakan, “Yang benar adalah tidak ada kewajiban membayar kaffarat baginya karena lemahnya dalil yang mewajibkan, Wallahu a’lam.”
Semoga Allah senantiasa membimbing kita di atas dien yang lurus.
***
Muslimah.Or.Id
Bandung,13 Dzulhijjah 1434 H
Yang sangat mengharap ampunan Rabb-nya
Umi Ummu ‘Afifah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Rujukan:
Tafsir Al Qur’an karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
Ensiklopedi Fiqih Wanita jilid 1 karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim judul asli “Fiqhus Sunnah lin Nisaa-i wa maa Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin minal Ahkaam
Al-Wajiz karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Khalafi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar