Kamis, 31 Oktober 2013

IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA’LA (1)


Allah adalah nama bagi Dzat suci yang kita imani, beramal karena-Nya, dari-Nya kita hidup, dan kepada-Nya kita kembali.
Perbincangan mengenai Allah mencakup lima perkara :
1.      Dalil-dalil wujud-Nya Allah Subhanahu wa ta’la
2.      Realisasi kalimat tauhid
3.      Macam-macam tauhid
4.      Kedudukan dua kalimat syahadat
5.      Hal yang membatalkan tauhid

A.     Dalil-dalil wujudnya Allah Subhanahu wa ta’la

Ketahuilah wahai ukhti…

Bahwa wujud Allah termasuk hal mendasar yang dapat diketahui oleh manusia dengan fitrah dan nalurinya. Wujud Allah tidak membutuhkan ilmu yang pelik dan pemikiran yang kompleks.

Bila tidak karena sesuatu yang sangat jelas terkadang dapat menimbulkan kesamaran, dan dekatnya jarak justru bisa mengaburkan penglihatan, maka seorang mukmin dan atheis tentu tidak bersilang pendapat dan berbeda pemahaman.

“ Apa ada keraguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi.” (Ibrahim : 10)5

Imam ibnu Atha’illah As-Sakandari berkata, “ Ia menyinari yang lahir dengan cahaya ciptaan-Nya. Ia juga menyinari yang tersembunyi dangan cahaya sifat-sifatn-Nya. Oleh karena itu, padamlah cahaya yang lahir, sedangkan cahaya hati dan yang tersembunyi tidaklah padam. Ada bait berbunyi:

“ Sungguh surya siang terbenam kala malam tiba sedangkan matahari hati tidaklah hilang “6

Dia juga berkata :

“ Hanya sanya Allah terhijab karena Dia terlalu jelas, dan tersamar dari pandangan mata karena cahaya-Nya sangat kuat “

Dalam sebuah munajat, dia berdoa lirih, “ Ya Ilahi, bagaimana diri-Mu dicari-cari dalil wujud-Mu dengan sesuatu yang wujudnya justru bergantung pada-Mu?! Apakah selain-Mu memiliki penampakan yang tidak berasal dari-Mu sehingga justru dialah yang menampakkan diri-Mu? Kapan kau tiada tampak sehingga Kau membutuhkan dalil yang menunjukkan diri-Mu? Kapan Kau jauh sehingga jejak-jejak ciptaan-Mu dapat menjadi perantara untuk sampai pada-Mu?

Ilahi…butalah mata yang tak melihat-Mu sebagai pengawas. Rugilah transaksi seseorang hamba yang tidak menjadikan cinta-Mu sebagai saham.

Ilahi…Kau perintahkan untuk kembali ke jejak-jejak ciptaan-Mu, maka pulangkan aku padanya dengan bungkusan cahaya dan petunjuk nurani agar aku dapat kembali kepada-Mu melalui jejak-jejak-Mu itu. Sebagaimana aku masuk pada-Mu melalui jejak-jejak ciptaan-Mu itu, namun hatiku terpelihara dari hanya memandangnya dan tergantung padanya. Ya Rabb, Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Ilahi…inilah kerendahanku, jelas di hadapan-Mu. Inilah keadaanku, tak samar bagi-Mu. Aku mohon untuk bisa sampai kepada-Mu. Dengan-Mu aku meminta petunjuk, tunjukilah aku untuk bisa sampai pada-Mu dengan cahaya-Mu. Tegakkanlah aku dengan penghambaan yang benar di hadapan-Mu.”7

Sungguh, kepercayaan mengenai wujud Allah merupakan panggilan fitrah.

“ Fitrah Allah yang mana manusia berlaku di atasnya.” (Ar-Ruum : 30)

“ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab,’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan,’Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).”(Al-A’raf:172)

Al-hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas, “Allah memberitahukan bahwa Dia mengeluarkan anak keturunan bani Adam dari tulang sulbi mereka, dimana mereka bersaksi atas diri mereka bahwa Allah adalah Tuhan dan pemilik mereka, tiada tuhan selain Dia. Allah juga menetapkan dan membiasakan mereka di atas fitrah itu.”

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum : 30)

Dalam As-Sahihain dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda,” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. (Dalam sebuah riwayat,”…atas agama ini.”) Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani dan Majusi. [HR. Bukhari dan Muslim]. Sebagaimana hewan ternak melahirkan (anak) yang sempurna fisiknya. Apakah kalian menemukan yang cacat fisiknya ?!

Iyadh bin Hammar ra menuturkan, Rasulullah bersabda,” Allah berfirman: ‘ Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan suci dan lurus(hanif), lalu setan mendatangi dan menghalangi mereka dari agama mereka, serta mengharamkan apa-apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka. [Shahih Muslim]

Seorang Arab Badui yang hidup di padang yang gersang, mendapat hidayah memahami wujud Allah dengan fitrahnya dan apa yang terlihat di depan matanya. Ia mengatakan,” Anak unta menunjukan adanya unta, dan jejak menunjukkan adanya perjalanan. Langit dengan gugusan bintangnya dan bumi dangan keluasan hamparannya tentu saja menunjukkan adanya Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi.”

Sudah menjadi aksioma bahwa yang ada harus ada sebab yang menjadikannya ada.

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Ash-Shahih bahwa Muhammad bin Jubair Muth’im dari ayahnya berkata,” Aku mendengar Rasulullah pada shalat magrib membaca surat Ath-Thur. Saat beliau sampai pada ayat ini,’Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Apakah mereka menciptakan langit dan bumi ?! Bahkan mereka tidak meyakini (adanya Allah).’(Ath-Thur :35-36) Hampir saja hatiku terbang.”

Al-Baihaqi dalam Al-Asma wa As-Sifat(1/391) berkata,”Abu Sulaiman Al-Khaththabi berkata,’Beliau terguncang ketika mendengar ayat ini, karena beliau meresapi maknanya dan memahami kandungannya yang berisi hujjah yang kuat, beliau memahami ayat di atas.”

Sesungguhnya lingkungan yang buruk sangat berbahaya bagi fitrah, sebab ia dapat mengotori fitrah dan meninggalkan banyak penyakit kepadanya. Tampaknya itulah rahasia mengapa banyak manusia kemudian tidak beriman bahkan sebaliknya berbuat kufur dan syirik, walaupun yang demikian sebenarnya bertentangan dengan logika, aksioma dan asal penciptaan.”8

Sungguh, lingkungan buruklah yang membuat Balqis, ratu Saba’, jauh dari keimanan kepada Allah, sampai akhirnya ia mendapat cahaya Islam lewat Nabi Sulaiman. Allah berfirman :

“ Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.”(An-Naml:43)

Abdurrahman As-Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas berkata,”Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah mencegahnya” dari Islam. Sebenarnya Balqis dengan kecerdasan yang dimilikinya dapat mengetahui yang haq dari yang batil, akan tetapi akidah yang batil mengotori nurani. “Karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.” Maksudnya, Balqis tetap bersama agama mereka.

Tentu saja sangat jarang terjadi, ada seorang yang menyimpang dari pemeluk suatu agama dan adat tertentu karena berpendapat bahwa hal itu salah dan sesat. Karenanya, tidaklah aneh bila Balqis tetap memilih jalan kekufuran. Kemudian manakala Sulaiman ingin agar Balqis untuk memasuki tempat yang tinggi dan luas yang terbuat dari kaca dimana mengalir air di bawahnya.”9

Setelah menyaksikan semua keajaiban dan mengetahui kenabian dan kerasulan Sulaiman, Balqis berkata,

“ Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.”(An-Naml : 44)

Kesimpulannya, akal sehat bisa membawa pada kebenaran. Semakin bertambah ilmu, akal akan semakin dekat dan mudah mencapai kebenaran. Karena itu kita lihat para ilmuwan dan saintis setelah era kegelapan materialisme yang menimpa mereka di akhir abad ke-19 kembali kepada kebenaran. Saat ini mereka hampir sepakat melalui pentolan-pentolan mereka bahwa aturan-aturan dan undang-undang yang menjadi dasar tumbuh dan berkembangnya kehidupan (hukum alam) bermuara ke kesatuan maksud, kehendak, pemeliharaan dan hikmah.

Akal sehat mustahil mempercayai bahwa kehidupan ini diciptakan dan berkembang secara kebetulan belaka. Calvin, seorang cendekiawan inggris terkenal menyatakan keimanan ini di hadapan orang banyak. Ia mengejek orang-orang yang berpendapat adanya kebetulan dalam penciptaan alam. Ia heran dengan sikap sebagian ilmuwan yang mengabaikan bukti meyakinkan akan esksistensi Allah, yang berada di balik hikmah dan keteraturan alam.

Calvin berkata,”Akan sulit bagi seseorang untuk memikirkan awal kehidupan atau keberlangsungannya tanpa adanya kekuatan yang mengatur. Sungguh aku yakin bahwa sebagian cendekiawan dalam kajian-kajian filosofis tentang hewan terlalu mengabaikan bukti yang meyakinkan di balik keteraturan alam semesta. Sesungguhnya di sekitar kita terdapat banyak bukti yang kuat lagi meyakinkan akan adanya keteraturan Sang Pengatur. Bukti-bukti tersebut menunjukkan kepada kita lewat alam dengan kehendak bebas yang ada di dalamnya bahwa makhluk hidup bergantung pada satu Pencipta yang abadi.”10

Sebenarnya orang-orang yang berpendapat adanya kebetulan dalam penciptaan, adalah orang-orang yang tidak berakal. Benarlah Allah ketika berfirman :

“ Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya ? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan; manusia itu belum malaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, maka hendaklah manusia itu memperlihatkan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon korma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (Abasa :17-32)

“Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah, Wallahu a’lam bishuhab”



Penulis : Putri Handayani binti Alarmi
Sekupang, Kamis, 26 Zulhijjah 1434 H/October 31, 2013

5 \ Lihat Al-Ghazali, Aqiqah Al-Muslim, h.14
6 \ Al-Hakim Al-‘Athoiyyah, h.22
7 \Lihat Al-Hikam Al-‘Atha’iyyah, h.
8 \Lihat Aqudat Al-Muslim, h.15
9 \ lihat Taysir Al-karim Al-Rahman, h. 605
10 \Lihat Aqidah Al-Muslim, h.24

Referensi : Be a good Muslimah/Panduan Menjadi Wanita Shalihah
Penulis : Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz
Penerjemah : H. Irfan Salim, MA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar